Kalau kita ngomongin sejarah awal dakwah Nabi Muhammad SAW, nama Abu Thalib nggak bisa dilewatkan. Beliau adalah paman Nabi yang punya peran besar banget dalam menjaga, melindungi, dan mendukung perjuangan Rasulullah—meski dirinya sendiri tidak pernah secara resmi memeluk Islam.
Buat Nabi Muhammad, Abu Thalib bukan cuma paman, tapi juga figur ayah kedua. Setelah kakeknya, Abdul Muthalib, wafat, Abu Thaliblah yang merawat Nabi sejak kecil dengan penuh kasih sayang. Bayangin aja, beliau memperlakukan Nabi seolah anak kandung sendiri—selalu ada, selalu siap jadi pelindung.
Ketika Nabi mulai berdakwah menyampaikan Islam, situasi waktu itu super sulit. Quraisy yang masih teguh pada tradisi paganisme merasa terusik dan mulai melawan. Tapi Abu Thalib, sebagai kepala Bani Hasyim, berdiri tegak di belakang keponakannya.
Bahkan, para pemimpin Quraisy sempat datang ke Abu Thalib bawa tawaran “menggiurkan”: kekayaan, jabatan, bahkan kekuasaan—asal Nabi berhenti berdakwah. Tapi Abu Thalib menolak mentah-mentah. Baginya, melindungi Nabi jauh lebih berharga daripada semua yang ditawarkan.
Salah satu momen paling berat adalah ketika Quraisy memboikot keluarga besar Nabi selama tiga tahun. Hidup dalam tekanan, susah makan, serba kekurangan. Tapi Abu Thalib tetap setia mendampingi Nabi, nggak pernah sekalipun meninggalkannya sendirian menghadapi badai.
Abu Thalib terus menjaga Nabi sampai akhir hidupnya. Meski begitu, ia tetap bertahan pada keyakinan lamanya dan tidak memeluk Islam. Buat Nabi, ini tentu berat banget. Beliau sangat berharap pamannya bisa menerima Islam, tapi Allah menakdirkan lain.
Wafatnya Abu Thalib pada tahun ke-10 kenabian jadi pukulan telak bagi Nabi Muhammad. Tahun itu bahkan disebut sebagai ‘Aam al-Huzn atau Tahun Kesedihan, karena di tahun yang sama, Nabi juga kehilangan istri tercinta, Khadijah. Hilangnya Abu Thalib membuat posisi Nabi semakin rentan di tengah tekanan Quraisy.
Meski nggak masuk Islam, jasa Abu Thalib dalam mendukung dakwah Nabi tetap tercatat besar dalam sejarah. Bisa jadi, tanpa perlindungan dan pengaruhnya, dakwah Islam di Mekah nggak akan bisa bertahan sekuat itu.
Dari kisah Abu Thalib, kita bisa belajar bahwa dukungan terhadap kebenaran nggak selalu harus datang dari keyakinan yang sama. Kadang, kasih sayang, loyalitas, dan ikatan keluarga bisa jadi tameng terkuat dalam perjuangan.
Abu Thalib mengajarkan bahwa pemimpin atau pelindung sejati adalah mereka yang berani berdiri di sisi kebenaran, meski harus menghadapi risiko besar.